Welcome to my blogg,,,

Kamis, 29 Agustus 2013

BAD DAY !!


Sumpah ya, hari ini gw bĂȘte mampus. Lo tau kenapa? Pertama , dikantor gw ngerjain semua pendingan temen gw yang resign mendadak, betapa ribetnya hidup gw saat itu, tangan kiri angkat telpon tangan kanan ttd dokumen. kesana kemari mebawa alamat, eh maksudnya dokumen.hha.
Kedua gw punya pacar bener-bener gga bisa ngertiin hidup gw, rasanya pengen gw karungin terus anyutin ke kali, tapi gw sayaanggg..hha itulah bodohnya cinta, seburuk apapun pacar lo, lo tetep berusaha buat ada disampingnya.. hufftt kalo gga mikir cinta n sayangg udah gw tinggal pergi deh.
Ketiga, gw pulang kantor ketemu aki-aki kampret bawa mobil yang sengaja nyerempet si merah alias motor kesayangan gw, aihh super duper nyebelin mencak-mencak deh gw dijalanan. Gw bilang sama tuh aki-aki “pak nih jalanan udah sempit jangan asal serempet2, dan satu ucapan jurus andalan gw, Pak jangan mentang-mentang bawa mobil and saya bawa motor bisa seenaknya”. Pengen gw tendang-tendang tuh mobil tapi gw inget tuh aki-aki kampret udah tua, yah sebagai anak muda yang baik gw mengalah aja ama orang tua kaya gitu, dan lebih anehnya banyak orang disekeliling gw yang pada ngeliatin gw, mungkin dia heran kali yah ada cewe yang berani segitunya. Whatever anything I Don’t Care.

Rabu, 30 Maret 2011

Efek Media Massa Terhadap Khalayak

EFEK MEDIA MASSA TERHADAP KHALAYAK: KOGNITIF, AFEKTIF & BEHAVIORAL
Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: kognitif, afektif, dan konatif. Efek kognitif meliputi
peningkatan kesadaran, belajar, dan tambahan pengetahuan. Efek efektif berhubungan dengan emosi,
perasaan, dan attitude (sikap). Sedangkan efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuyk
melakukan sesuatu menurut cara tertentu.
1. Efek Kognitif
Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya informative bagi dirinya.
Dalam efek kognitif ini akan dibahas tentang bagaimana media massa dapat membantu khalayak dalam
mempelajari informasi yang bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitif. Melalui media
massa, kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita kunjungi
secara langsung.
Seseorang mendapatkan informasi dari televisi, bahwa Robot Gedek mampu melakukan sodomi
dengan anak laki-laki di bawah umur. Penonton televisi, yang asalnya tidak tahu menjadi tahu tentang
peristiwa tersebut. Di sini pesan yang disampaikan oleh komunikator ditujukan kepada pikiran
komunikan. Dengan kata lain, tujuan komunikator hanya berkisar pada upaya untuk memberitahu saja.
Menurut Mc. Luhan, media massa adalah perpanjangan alat indera kita (sense extention theory; teori
perpanjangan alat indera). Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau
tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang
ditampilkan oleh media massa adalah relaitas yang sudah diseleksi. Kita cenderung memperoleh
informasi tersebut semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Televisi sering
menyajikan adegan kekerasan, penonton televisi cenderung memandang dunia ini lebih keras, lebih
tidak aman dan lebih mengerikan.
Karena media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, maka sudah tentu media massa akan
mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang bias dan timpang. Oleh karena itu,
muncullah apa yang disebut stereotip, yaitu gambaran umum tentang individu, kelompok, profesi atau
masyarakat yang tidak berubah-ubah, bersifat klise dan seringkali timpang dan tidak benar. Sebagai
contoh, dalam film India, wanita sering ditampilkan sebagai makhluk yang cengeng, senang kemewahan
dan seringkali cerewet. Penampilan seperti itu, bila dilakukan terus menerus, akan menciptakan
stereotipe pada diri khalayak Komunikasi Massa tentang orang, objek atau lembaga. Di sini sudah mulai
terasa bahayanya media massa. Pengaruh media massa lebih kuat lagi, karena pada masyarakat modern
orang memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa.
Sementara itu, citra terhadap seseorang, misalnya, akan terbentuk (pula) oleh peran agenda setting.
Teori ini dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring
berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Biasanya, surat kabar mengatur berita mana yang
lebih diprioritaskan. Ini adalah rencana mereka yang dipengaruhi suasana yang sedang hangat
berlangsung. Sebagai contoh, bila satu setengah halaman di Media Indonesia memberitakan
pelaksanaan Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar, berarti wartawan dan pihak redaksi harian itu
sedang mengatur kita untuk mencitrakan sebuah informasi penting. Sebaliknya bila di halaman
selanjutnya di harian yang sama, terdapat berita kunjungan Megawati Soekarno Putri ke beberapa
daerah, diletakkan di pojok kiri paling bawah, dan itu pun beritanya hanya terdiri dari tiga paragraf.
Berarti, ini adalah agenda setting dari media tersebut bahwa berita ini seakan tidak penting. Mau tidak
mau, pencitraan dan sumber informasi kita dipengaruhi agenda setting.
Media massa tidak memberikan efek kognitif semata, namun ia memberikan manfaat yang dikehendaki
masyarakat. Inilah efek prososial. Bila televisi menyebabkan kita lebih mengerti bahasa Indonesia yang
baik dan benar, televisi telah menimbulkan efek prososial kognitif. Bila majalah menyajikan penderitaan
rakyat miskin di pedesaan, dan hati kita tergerak untuk menolong mereka, media massa telah
menghasilkan efek prososial afektif. Bila surat kabar membuka dompet bencana alam, menghimbau kita
untuk menyumbang, lalu kita mengirimkan wesel pos (atau, sekarang dengan cara transfer via rekening
bank) ke surat kabar, maka terjadilah efek prososial behavioral.
2. Efek Afektif
Efek ini kadarnya lebih tinggi daripada Efek Kognitif. Tujuan dari komunikasi massa bukan hanya sekedar
memberitahu kepada khalayak agar menjadi tahu tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, setelah
mengetahui informasi yang diterimanya, khalayak diharapkan dapat merasakannya. Sebagai contoh,
setelah kita mendengar atau membaca informasi artis kawakan Roy Marten dipenjara karena kasus
penyalah-gunaan narkoba, maka dalam diri kita akan muncul perasaan jengkel, iba, kasihan, atau bisa
jadi, senang. Perasaan sebel, jengkel atau marah daat diartikan sebagai perasaan kesal terhadap
perbuatan Roy Marten. Sedangkan perasaan senang adalah perasaan lega dari para pembenci artis dan
kehidupan hura-hura yang senang atas tertangkapnya para public figure yang cenderung hidup hura-
hura. Adapun rasa iba atau kasihan dapat juga diartikan sebagai keheranan khalayak mengapa dia
melakukan perbuatan tersebut.
Berikut ini faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya efek afektif dari komunikasi massa.
1. Suasana emosional
Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa respons kita terhadap sebuah film, iklan, ataupun
sebuah informasi, akan dipengaruhi oleh suasana emosional kita. Film sedih akan sangat mengharukan
apabila kita menontonnya dalam keadaan sedang mengalami kekecewaan. Adegan-adegan lucu akan
menyebabkan kita tertawa terbahak-bahak bila kita menontonnya setelah mendapat keuntungan yang
tidak disangka-sangka.
1. Skema kognitif
Skema kognitif merupakan naskah yang ada dalam pikiran kita yang menjelaskan tentang alur eristiwa.
Kita tahu bahwa dalam sebuah film action, yang mempunyai lakon atau aktor/aktris yang sering muncul,
pada akahirnya akan menang. Oleh karena itu kita tidak terlalu cemas ketika sang pahlawan jatuh dari
jurang. Kita menduga, asti akan tertolong juga.
3. Efek Behavioral
Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau
kegiatan. Adegan kekerasan dalam televisi atau film akan menyebabkan orang menjadi beringas.
Program acara memasak bersama Rudi Khaeruddin, misalnya, akan menyebabkan para ibu rumah
tangga mengikuti resep-resep baru. Bahkan, kita pernah mendengar kabar seorang anak sekolah dasar
yang mencontoh adegan gulat dari acara SmackDown yang mengakibatkan satu orang tewas akibat
adegan gulat tersebut. Namun, dari semua informasi dari berbagai media tersebut tidak mempunyai
efek yang sama.
Radio, televisi atau film di berbagai negara telah digunakan sebagai media pendidikan. Sebagian laporan
telah menunjukkan manfaat nyata dari siaran radio, televisi dan pemutaran film. Sebagian lagi
melaporkan kegagalan. Misalnya, ketika terdapat tayangan kriminal pada program Buser di SCTV
menayangkan informasi: anak SD yang melakukan bunuh diri karena tidak diberi jajan oleh orang
tuanya. Sikap yang diharapkan dari berita kriminal itu ialah, agar orang tua tidak semena-mena terhadap
anaknya, namun apa yang didapat, keesokan atau lusanya, dilaporkan terdapat berbagai tindakan sama
yang dilakukan anak-anak SD. Inilah yang dimaksud perbedaan efek behavior. Tidak semua berita,
misalnya, akan mengalami keberhasilan yang merubah khalayak menjadi lebih baik, namun pula bisa
mengakibatkan kegagalan yang berakhir pada tindakan lebih buruk.
Mengapa terjadi efek yang berbeda? Belajar dari media massa memang tidak bergantung hanya ada
unsur stimuli dalam media massa saja. Kita memerlukan teori psikologi yang menjelaskan peristiwa
belajar semacam ini. Teori psikolog yang dapat mnejelaskan efek prososial adalah teori belajar sosial
dari Bandura. Menurutnya, kita belajar bukan saja dari pengelaman langsung, tetapi dari peniruan atau
peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan. Artinya, kita
mampu memiliki keterampila tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan
karakteristik diri kita.


Teknik Reportase

Teknik reportase atau teknik peliputan berita merupakan hal mendasar yang perlu dikuasai para jurnalis. Namun, membahas teknik reportase, berarti juga membahas bagaimana cara media bekerja, sebelum mereka memutuskan untuk meliput suatu acara, kegiatan atau peristiwa.

Setiap media memiliki apa yang disebut kriteria kelayakan berita. Selain itu, mereka juga memiliki apa yang disebut kebijakan redaksional (editorial policy). Kriteria kelayakan berita itu bersifat umum (universal), dan tak jauh berbeda antara satu media dengan media yang lain. Sedangkan kebijakan redaksional setiap media bisa berbeda, tergantung visi dan misi atau ideologi yang dianutnya.

Perbedaan visi, misi dan ideologi ini akan berpengaruh pada sudut pandang atau angle peliputan. Dua media yang berbeda bisa mengambil sudut pandang yang berbeda terhadap suatu peristiwa yang sama. Bandingkan, misalnya, cara pandang redaktur harian Kompas dan Republika terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, yang telah memancing kontroversi sengit di sejumlah kalangan belum lama ini.

Terakhir, tentu saja segmen khalayak yang dilayani tiap media juga berbeda-beda. Keinginan media untuk memuaskan kebutuhan segmen khalayak tersebut secara tak langsung juga berarti melakukan seleksi terhadap apa yang layak dan tidak layak diliput. Trans TV, misalnya, memilih khalayak dari kalangan sosial-ekonomi menengah ke atas. Majalah Femina membidik pasar kaum perempuan berusia menengah ke atas, yang tinggal atau bekerja di perkotaan. Sedangkan Radio Hardrock FM mengejar pasar kaum muda di Jakarta.

Kelayakan Berita

Berikut ini adalah sejumlah kriteria kelayakan berita, yang bersifat umum untuk semua media:

Penting. Suatu peristiwa diliput jika dianggap punya arti penting bagi mayoritas khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa. Tentu saja, media tidak akan rela memberikan space atau durasinya untuk materi liputan yang remeh. Kenaikan harga bahan bakar minyak, pemberlakuan undang-undang perpajakan yang baru, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dan sebagainya, jelas penting karena punya dampak langsung pada kehidupan khalayak.

Aktual. Suatu peristiwa dianggap layak diliput jika baru terjadi. Maka, ada ungkapan tentang berita “hangat,“ artinya belum lama terjadi dan masih jadi bahan pembicaraan di masyarakat. Kalau peristiwa itu sudah lama terjadi, tentu tak bisa disebut berita “hangat,” tetapi lebih pas disebut berita “basi.” Namun, pengertian “baru terjadi” di sini bisa berbeda, tergantung jenis medianya. Untuk majalah mingguan, peristiwa yang terjadi minggu lalu masih bisa dikemas dan dimuat. Untuk suratkabar harian, istilah “baru” berarti peristiwa kemarin. Untuk media radio dan televisi, berkat kemajuan teknologi telekomunikasi, makna “baru” adalah beberapa jam sebelumnya atau “seketika” (real time). Contohnya, siaran langsung pertandingan sepakbola Piala Dunia.

Unik. Suatu peristiwa diliput karena punya unsur keunikan, kekhasan, atau tidak biasa. Orang digigit anjing, itu biasa. Tetapi, orang mengigit anjing, itu unik dan luar biasa. Contoh lain: Seorang mahasiswa yang berangkat kuliah setiap hari, itu kejadian rutin dan biasa. Tetapi, jika seorang mahasiswa menembak dosennya, karena bertahun-tahun tidak pernah diluluskan, itu unik dan luar biasa. Di sekitar kita, selalu ada peristiwa yang unik dan tidak biasa.

Asas Kedekatan (proximity). Suatu peristiwa yang terjadi dekat dengan kita (khalayak media), lebih layak diliput ketimbang peristiwa yang terjadi jauh dari kita. Kebakaran yang menimpa sebuah pasar swalayan di Jakarta tentu lebih perlu diberitakan ketimbang peristiwa yang sama tetapi terjadi di Ghana, Afrika. Perlu dijelaskan di sini bahwa “kedekatan” itu tidak harus berarti kedekatan fisik atau kedekatan geografis. Ada juga kedekatan yang bersifat emosional. Agresi Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza, misalnya, secara geografis jauh dari kita, tetapi secara emosional tampaknya cukup dekat bagi khalayak media di Indonesia.

Asas Keterkenalan (prominence). Nama terkenal bisa menjadikan berita. Sejumlah media pada Juni-Juli 2006 ini ramai memberitakan kasus perceraian artis Tamara Bleszynski dan suaminya Teuku Rafli Pasha, serta perebutan hak asuh atas anak antara keduanya. Padahal di Indonesia ada ratusan atau bahkan ribuan pasangan lain, yang bercerai dan terlibat sengketa rumah tangga. Namun, mengapa mereka tidak diliput? Ya, karena sebagai bintang sinetron dan bintang iklan sabun Lux, Tamara adalah figur selebritas terkenal.

Magnitude. Mendengar istilah magnitude, mungkin mengingatkan Anda pada gempa bumi. Benar. Magnitude ini berarti “kekuatan” dari suatu peristiwa. Gempa berkekuatan 6,9 skala Richter pasti jauh lebih besar dampak kerusakannya, dibandingkan gempa berkekuatan 3,1 skala Richter. Dalam konteks peristiwa untuk diliput, sebuah aksi demonstrasi yang dilakukan 10.000 buruh, tentu lebih besar magnitude-nya ketimbang demonstrasi yang cuma diikuti 100 buruh. Kecelakaan kereta api yang menewaskan 200 orang pasti lebih besar magnitude-nya daripada serempetan antara becak dan angkot, yang hanya membuat penumpang becak menderita lecet-lecet. Semakin besar magnitude-nya, semakin layak peristiwa itu diliput.
Human Interest. Suatu peristiwa yang menyangkut manusia, selalu menarik diliput. Mungkin sudah menjadi bawaan kita untuk selalu ingin tahu tentang orang lain. Apalagi yang melibatkan drama, seperti: penderitaan, kesedihan, kebahagiaan, harapan, perjuangan, dan lain-lain. Topik-topik kemanusiaan semacam ini biasanya disajikan dalam bentuk feature.
Unsur konflik. Konflik, seperti juga berbagai hal lain yang menyangkut hubungan antar-manusia, juga menarik untuk diliput. Ketika ppahlawan sepakbola Perancis, Zinedine Zidane, “menanduk” pemain Italia, Marco Materrazzi, dalam pertandingan final Piala Dunia, Juli 2006 lalu, ini menarik diliput. Mengapa? Ya, karena sangat menonjol unsur konflik dan kontroversinya. Bahkan, kontroversi kasus Zidane ini lebih menarik daripada pertandingan antara kesebelasan Perancis dan Italia itu sendiri.

Trend. Sesuatu yang sedang menjadi trend atau menggejala di kalangan masyarakat, patut mendapat perhatian untuk diliput media. Pengertian trend adalah sesuatu yang diikuti oleh orang banyak, bukan satu-dua orang saja. Misalnya, suatu gaya mode tertentu yang unik, perilaku kekerasan antar warga masyarakat yang sering terjadi, tawuran antarpelajar, dan sebagainya.

Dalam memilih topik liputan, bisa saja tergabung beberapa kriteria kelayakan. Misalnya, kasus mantan anggota The Beatles, John Lennon, yang pada 1980 tewas ditembak di depan apartemennya di New York oleh Mark Chapman. Padahal beberapa jam sebelumnya, Chapman sempat meminta tanda tangan Lennon. Chapman mengatakan, ia mendengar “suara-suara” di telinganya yang menyuruhnya membunuh Lennon.

Mari kita lihat kriteria kelayakan berita ini. Pertama, Lennon adalah seorang selebritas yang terkenal di seluruh dunia (unsur keterkenalan). Kedua, penembakan terhadap seorang bintang oleh penggemarnya sendiri, jelas peristiwa luar biasa dan jarang terjadi (unsur keunikan). Ketiga, meskipun peristiwa itu terjadi di lokasi yang jauh dari Indonesia, para penggemar The Beatles di Indonesia pasti merasakan kesedihan mendalam akibat tewasnya Lennon tersebut (unsur kedekatan emosional). Dan seterusnya.

Proses pembuatan berita

Proses pembuatan berita pada prinsipnya tak banyak berbeda di semua media. Di media yang sudah mapan, biasanya telah dibuat semacam prosedur operasional standar (SOP) dalam pembuatan berita, untuk menjaga kualitas berita yang dihasilkan.

Proses pembuatan berita biasanya dimulai dari rapat redaksi, yang juga merupakan jantung operasional media pemberitaan. Rapat redaksi merupakan kegiatan rutin, yang penting bagi pengembangan dan peningkatan kualitas berita yang dihasilkan.

Dalam rapat redaksi ini, para reporter, juru kamera, redaktur, bisa mengajukan usulan-usulan topik liputan. Usulan itu sendiri bisa berasal dari berbagai sumber. Misalnya: Undangan liputan dari pihak luar, konferensi pers, siaran pers, berita yang sudah dimuat atau ditayangkan di media lain, hasil pengamatan pribadi si jurnalis, masukan dari narasumber/informan, dan sebagainya.

Sasaran Rapat Redaksi:

1. Untuk mengkoordinasikan kebijakan redaksi dan liputan.
2. Untuk menjaga kelancaran komunikasi antar staf redaksi (komunikasi antara reporter, juru kamera, staf riset, redaktur, dan sebagainya).
3. Untuk memecahkan masalah yang timbul sedini mungkin (potensi hambatan teknis dalam peliputan, keterbatasan sarana/alat untuk peliputan, keamanan dalam peliputan, dan sebagainya)
4. Untuk menghasilkan hasil liputan yang berkualitas.

Dari rapat redaksi ini, ditentukan topik yang mau diliput, sekaligus ditunjuk reporter (plusjuru kamera) yang harus meliputnya. Dalam pembahasan yang lebih rinci, bisa dibahas juga angle (sudut pandang) yang dipilih dari topik liputan bersangkutan, serta narasumber yang harus diwawancarai. Untuk kelengkapan data, staf riset bisa diminta mencari data tambahan guna menyempurnakan hasil liputan nantinya.

Sesudah tugas dibagikan secara jelas dalam rapat redaksi, dan redaktur memberi brifing pada reporter, berbekal informasi dan arahan tersebut, si reporter pun meluncur ke lapangan. Dalam proses peliputan, bila ada masalah atau hambatan dalam liputan di lapangan,si reporter dapat berkonsultasi langsung dengan redaktur yang menugaskannya. Hambatan itu, misalnya, narasumber menolak diwawancarai, atau peristiwa yang diliput ternyata tidak seperti yang dibayangkan.

Setelah selesai meliput, si reporter kembali ke kantor, dan melaporkan hasil liputannya kepada redaktur yang memberi penugasan. Sang redaktur lalu membuat penilaian, apakah hasil liputan itu sudah sesuai dengan rancangan awal, yang sebelumnya ditetapkan dalam rapat redaksi. Apakah ada hal-hal yang baru, yang mungkin lebih menarik diangkat dalam penulisan. Atau, sebaliknya, hasil liputan ternyata justru biasa saja, tidak sehebat atau sedramatis yang diharapkan.

Redaktur juga melihat, apakah ada hal yang kurang terliput oleh si reporter. Apakah hasil liputan sudah lengkap? Redaktur juga mempertimbangkan asas keberimbangan dan proporsionalitas dalam isi pemberitaan. Misalnya, apakah jumlah narasumber yang diwawancarai sudah cukup? Apakah narasumber yang diwawancarai itu sudah mewakili berbagai kepentingan yang terlibat?

Berdasarkan berbagai pertimbangan itu, redaktur mengusulkan di mana berita itu akan ditempatkan. Di sejumlah media, ada rapat khusus (kadang-kadang disebut rapat budgeting, meski ini tidak ada hubungannya dengan uang) untuk membahas penempatan berita. Namun, dalam rapat ini, reporter tidak ikut serta karena sudah diwakili oleh redakturnya. Di rapat ini dibahas, apakah hasil liputan itu layak untuk berita utama di halaman pertama, atau sekadar layak untuk dimuat pendek di halaman dalam, atau justru tidak layak dimuat sama sekali.

Sesudah jelas, berita itu akan dimuat di halaman mana, seberapa panjangnya, serta penekanan pada aspek yang mana, si reporter disuruh menuliskannya. Hasil tulisan diserahkan kepada redaktur terkait, untuk disunting dari segi bahasa dan isinya. Sebelum berita ini dimuat, kadang-kadang harus melalui proses penyuntingan bahasa oleh editor atau penyunting yang khusus memeriksa gaya bahasa. Jika isi berita itu dianggap layak jadi berita utama, biasanya redaktur pelaksana atau pemimpin redaksi juga bisa ikut terlibat.

Kemudian, berita pun dimuat. Demikianlah proses pembuatan berita pada umumnya di media cetak. Khusus untuk media televisi (audio-visual), faktor ketersediaan gambar ikut berpengaruh, bahkan sangat berpengaruh, mengenai apakah suatu item berita akan ditayangkan atau tidak. Kalaupun ditayangkan, format penayangannya juga banyak tergantung pada ketersediaan gambar.

Menggali Informasi

Tugas seorang reporter pada dasarnya adalah mengumpulkan informasi, yang membantu publik untuk memahami peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka. Penggalian informasi ini membawa sang reporter untuk melalui tiga lapisan atau tahapan peliputan:

Lapisan pertama, adalah fakta-fakta permukaan. Seperti: siaran pers, konferensi pers, rekaman pidato, dan sebagainya. Lapisan pertama ini adalah sumber bagi fakta-fakta, yang digunakan pada sebagian besar berita. Informasi ini digali dari bahan yang disediakan dan dikontrol oleh narasumber. Oleh karena itu, isinya mungkin masih sangat sepihak. Jika reporter hanya mengandalkan informasi lapisan pertama, perbedaan antara jurnalisme dan siaran pers humas menjadi sangat tipis.

Lapisan kedua, adalah upaya pelaporan yang dilakukan sendiri oleh si reporter. Di sini, sang reporter melakukan verifikasi, pelaporan investigatif, liputan atas peristiwa-peristiwa spontan, dan sebagainya. Di sini, peristiwa sudah bergerak di luar kontrol narasumber awal. Misalnya, ketika si reporter tidak mentah-mentah menelan begitu saja keterangan Humas PT. Lapindo Brantas, tetapi si reporter datang ke lokasi meluapnya lumpur, dan mewawancarai langsung para warga korban lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur.

Lapisan ketiga, adalah interpretasi (penafsiran) dan analisis. Di sini si reporter menguraikan signifikansi atau arti penting suatu peristiwa, penyebab-penyebabnya, dan konsekuensinya. Publik tidak sekadar ingin tahu apa yang terjadi, tetapi mereka juga ingin tahu bagaimana dan mengapa peristiwa itu terjadi. Apa makna peristiwa itu bagi mereka, dan apa yang mungkin terjadi sesudahnya (dampak susulan dari peristiwa tersebut).

Seorang reporter harus selalu berusaha mengamati peristiwa secara langsung, ketimbang hanya mengandalkan pada sumber-sumber lain, yang kadang-kadang berusaha memanipulasi atau memanfaatkan pers. Salah satu taktik yang dilakukan narasumber adalah mengadakan media event, yakni suatu tindakan yang sengaja dilakukan untuk menarik perhatian media.

Verifikasi, pengecekan latar belakang, observasi langsung, dan langkah peliputan yang serius bisa memperkuat, dan kadang-kadang membenarkan bahan-bahan awal yang disediakan narasumber.